CERPEN : Hikmah di Hari Idul Adha  - LPM Sativa
Minggu, 10 Juli 2022

CERPEN : Hikmah di Hari Idul Adha 

 

Eid Al-Adha: Special Short Story

By: Helmiatun Isnanda


"Allahuakbar.... Allahuakbar... Allahuakbar..."

Suara takbir menggema di seluruh penjuru daerah, dilantunkan dengan begitu indah, meramaikan suasana dibalik matahari yang berusaha menampakkan diri. Beberapa orang terlihat berbincang ringan dihalaman rumah, beramah tamah dengan sesama warga. Suasana pagi itu terasa begitu ramai, meski gelap lebih mendominasi sebab matahari belum sepenuhnya nampak. 

Suara bising percakapan ini pun tak luput dari sebuah rumah sederhana yang berada di ujung jalan desa. Dari dalam rumah, hiruk pikuk suara kanak-kanak terdengar begitu ketara. Bahkan bagi siapapun yang melewati rumah tersebut pasti akan langsung tahu, bahwa sang pemilik rumah tengah bersiap-siap untuk ibadah pagi ini. Sayangnya tak seorang pun yang akan melewati rumah di ujung jalan tersebut.

"Ibu! Dimana pakaian ku?" Adim, remaja laki-laki berusia 12 tahun.

"Ada di lemari pakaian mu, di ruang paling atas Dim!"

"Ibu! Semalam aku meletakkan sendal ku di dekat pintu, mengapa tidak ada?!" Abim namanya, putra tengah yang berusia 10 tahun.

"Abim, semalam sendalnya kamu taruh dibawah tempat tidur nak," sahut sang ibu dengan penuh kesabaran.

"Bu, Bapak sudah siap. Bapak harus berangkat lebih dahulu, nanti ibu dan anak-anak jangan sampai terlambat naik ke masjid, ya."

"Iya pak, hati-hati." Sang ibu berucap sembari menyalami tangan sang suami.

Sosok ayah dari dua anak laki-laki dan satu anak perempuan ini hanya berprofesi sebagai marbot masjid, pak Akim namanya. Beliau dikenal sebab sikap ramah dan baik hatinya. Meski begitu, tak sedikit pula yang menaruh rasa iri dan berusaha menjelekkan beliau.

***

Suasana masjid mulai ramai, warga berdatangan bersama sanak keluarga untuk menunaikan ibadah shalat Idul Adha. Masjid dipenuhi dengan aroma khas pakaian baru, beberapa bahkan saling memamerkan kepemilikannya. Polesan di wajah-wajah itu tak luput mengiringi pagi raya Adha ini. Sampai sesaat kemudian, seseorang dengan tampilan seadanya masuk dalam obrolan mereka.

"Permisi ibu-ibu, saya ikut duduk dalam shaf  ini, ya. Saya perhatikan ada yang masih kosong disini." Ialah Bu Ani, istri dari sang marbot masjid, Pak Akim.

"Ohiya Bu Ani, silahkan," ucap salah seorang ibu-ibu di sana.

"Waduhh! Bu Ani kok tidak pakai baju baru, ya? Saya perhatikan dari lebaran tahun kapan, bajunya itu-itu saja ya, Bu." 

"Ah iya Bu, belum ada rezeki lebih. Lagipula ini bajunya Alhamdulilah masih layak pakai." Senyum tak luput dari wajah Bu Ani saat menjawab salah seorang tetangganya.

"Layak sih layak Bu, tapi ya masa sampai lebaran beberapa kali pakai itu terus. Apa tidak malu? Yo tapi ndak heran ya, orang suaminya Bu Ani cuma marbot masjid ya, kan. Hahahah." Bu Lolita, terkenal dengan gaya hidup mewahnya mencoba mempermalukan Bu Ani dengan kata-katanya. Namun lagi dan lagi, Bu Ani hanya tersenyum sebagai tanggapan.

"Bu! Bu!" Suara seorang balita menginterupsi tawa ibu-ibu yang ada disana. Arim, putri bungsu dari Pak Akim dan Bu Ani.

"Ada apa, Nak?"

"Nyom! Lim nyomm!" Oceh balita berusia 2 tahun itu.

Bu Ani dengan telaten mengambilkan minum yang sudah ia siapkan dari rumah dan memberikan sedikit cemilan pada Arim agar tidak menangis, sebab sholat Ied akan segera di mulai. 

Pagi itu diakhiri dengan para warga yang saling bersalaman setelah selesainya sholat Ied. Ditengah suasana haru setelah melaksanakan shalat Idul Adha, sebuah pengeras suara menginterupsi para warga. Ialah suara ketua pengurus hari raya kurban setempat. Menginformasikan hal terkait pembagian daging kurban untuk masyarakat.

"Sebelumnya saya ingin memberitahukan bahwa pembagian daging kurban ini nantinya akan diantarkan langsung oleh pengurus acara guna menghindari desak-desakan di masjid. Jadi warga sekalian dapat menunggu dirumah masing-masing." Suara ketua pengurus hari raya kurban terdengar begitu lantang melalui pengeras suara.

Sementara ditempat yang sama namun dengan pembicaraan yang berbeda, terdapat Bu Ani, Bu Lolita dan beberapa ibu-ibu lainnya tengah berbincang satu sama lain.

"Duhh, biasanya kalau musim kurban begini, marbot masjid dapatnya paling banyak ya Bu Ani." -Bu Lolita.

"Wahh, betul itu Bu Lolita, pasti kan sudah disisihkan lebih dulu oleh pak Akim untuk keluarganya," timpal ibu lainnya yang mengundang bisik-bisik dari yang mendengarnya.

"Astaghfirullah tidak begitu ibu-ibu, semua pasti akan kebagian secara merata. Suami saya bukan orang yang seperti itu." -Bu Ani.

"Hadehh! Bu Ani tidak perlu sungkan begitu, kami mengerti saja, kok. Ya, secara ekonominya Bu Ani kan memang kurang, jadi ya pasti senang toh kalau dapat banyak hewan kurban." -Bu Lolita.

Bu Ani tak mampu untuk berkata lagi, ia memilih untuk meninggalkan perkumpulan ibu-ibu itu yang masih setia dengan bisik-bisik pergunjingan untuk Bu Ani. Bu Ani terlalu fokus berjalan sambil menunduk sehingga tak sadar pak Akim sudah berada di hadapannya.

"Loh Bu, kenapa hanya berdua? Adim dan Abim mana?"

"Tadi bermain dengan temannya yang lain, Pak."

"Begitu ya... Ibu pulang saja dulu, nanti jatah daging kurbannya bapak yang bawa pulang." 

"Pak, apa tidak bisa bapak pulang saja? Bu Lolita dan ibu-ibu lainnya sejak tadi membicarakan bapak, mengatakan bahwa bapak mencurangi pembagian daging kurbannya"

"Astaghfirullah Bu, mana mungkin bapak seperti itu. Tapi bapak juga tidak bisa meninggalkan masjid Bu, ada amanah yang harus dijalankan. Ibu dan anak-anak pulang saja, jangan terlalu dipikirkan ya." Kemudian Bu Ani hanya mengangguk sebagai jawaban dan berlalu meninggalkan pak Akim.

***

"Bu, nanti kalau sudah dapat daging kurbannya, Abim ingin dimasakkan sate ya!"

Ins syaa Allah ya, Nak."

"Adim ingin dibuatkan rendang saja." Bu Ani hanya mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban. Berlalu menuju dapur dan meninggalkan Arim bersama kedua kakaknya.

Menghela nafas, Bu Ani bersyukur masih banyak sisa beras untuk dimasak dan bumbu lainnya yang bisa digunakan untuk memasak sesuai yang dipesan Adim dan Abim. 

***

Waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, para pengurus penyaluran hewan kurban berkeliling untuk membagikan jatah daging kurban pada masyarakat. Daging kurban dibagi rata untuk seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Begitupun dengan Bu Ani yang berdiri di ujung jalan desa dan kini telah memegang satu kresek sedang berisi daging kurban sebagai penanda telah berakhirnya proses pembagian daging kurban. Menoleh ke belakang melihat senyuman dari kedua putranya yang tengah menanti untuk dimasakkan. 

Tak berselang lama setelah itu, Pak Akim masuk ke dalam rumah dengan menenteng sekantong kresek hitam besar. Menimbulkan tanya di raut wajah Bu Ani. Berpikir apakah benar suaminya mencurangi pembagian daging kurban dari masjid?

"Loh pak? Bawa apa itu, bukannya tadi sudah dapat jatah daging kurban dari masjid?"

"Wow bapak bawa daging kurban lagi?! Kalau begitu kita dapat banyak hahah!!" -Abim.

"Sssttt Abim diam dulu, bukannya tidak boleh seperti itu ya pak?" -Adim.

"Ohh itu bua-" Belum sempat pak Akim menyelesaikan kalimatnya, suara bising terdengar dari halaman rumahnya membuat beliau dan keluarganya tergopoh keluar rumah.

"Loh ada apa ini bapak-bapak dan ibu-ibu?" 

"Tuhkan saya juga bilang apa! Pak Akim ini memang mencurangi pembagian daging kurban dari masjid. Masa tadi pengurus sudah bagikan ke Bu Ani, eh Pak Akim malah bawa lagi sekantong kresek besar. Cihh, dasar tidak tahu malu ya, saya saja hanya kebagian tulang-tulangnya!" Suara Bu Lolita begitu nyaring sebagai pembuka protes terhadap Pak Akim.

"Tampangnya saja yang sok baik, padahal kelakuannya sangat busuk!"

"Kalau sudah miskin ya miskin saja Pak, Bu. Jangan hak orang lain diembat juga!"

"Tenang semua, sebaiknya kita dengarkan dulu penjelasan dari pak Akim."  -Pak RT.

"Halahh sudahlah pak RT, cari saja kedalam rumahnya pasti banyak daging yang disembunyikan!" Beberapa warga menerobos masuk ke dalam rumah pak Akim. Menemukan sekantung kresek yang menjadi sumber keributan. Salah seorang warga membuka kresek tersebut, dan...

"Loh inikan..."

"Astaghfirullah bapak-bapak, ibu-ibu. Saya mana berani berbuat seperti itu, yang saya bawa dari masjid tadi hanyalah arang untuk membuatkan anak saya sate." -pak Akim.

"Waduhh Bu Lolita ini bagaimana toh, kasi kabar tidak benar. Anu pak Akim maafkan kami, kami pikiri pak Akim benar-benar melakukan kecurangan." -Pak RT.

"Sudahlah pak, tidak apa-apa. Lain kali tolong bersikap lebih rasional dan tidak asal menuduh orang. Keluarga saya memang hidup berkecukupan, tapi bukan berarti saya akan mencuri hak orang lain." 

Warga yang tadinya menerobos masuk kedalam rumah pak Akim, kemudian berbondong-bondong keluar sambil menyalahkan Bu Lolita yang sudah membawa kabar buruk dan fitnah.

***

Sore harinya, saat keluarga pak Akim tengah menikmati santapan daging kurban yang telah diolah, suara ketukan di pintu depan rumahnya mengalihkan atensi seluruh anggota keluarga.

"Biar ibu saja yang buka."

Cklek 

"Bu Lolita? Ada apa ya?"

Bu Lolita memainkan ujung jemarinya sembari menengok kesana kemari, "Anu begini Bu Ani, anak saya ingin dibuatkan sate juga tetapi saya tidak punya cukup uang untuk membeli arang. Tadi kan pak Akim bawa arang banyak, saya boleh minta kan?"

Bu Ani menggeleng, dan melenggang masuk ke dapur rumahnya, mengambilkan arang untuk Bu Lolita. 

"Ini Bu Lolita arangnya, maaf apabila saya lancang. Tapi lain kali sediakan dahulu kebutuhan dapur atau yang lebih mendesak lainnya, baru membeli baju baru. Lagipula baju baru yang ibu Lolita beli setiap lebaran tidak membuat kenyang kan?" Tanpa menunggu balasan dari Bu Lolita, Bu Ani langsung menutup pintu dan meninggalkan Bu Lolita yang mematung diluar rumahnya.

"Bu, tidak baik berucap seperti itu kepada tetangga sendiri." -Pak Akim.

"Biarkan saja pak, ibu sudah terlampau sakit hati dibuatnya." Pak Akim menggelengkan kepalanya saat mendengar jawaban sang istri.

***

Malam harinya saat tengah duduk bersantai di depan teras dengan secangkir kopi dan sepiring pisang goreng, pak Akim membuka obrolan dengan sang istri, Bu Ani.

"Bu, sebenarnya bapak tidak mau membagi aib orang lain. Tetapi ibu perlu tahu, yang mencurangi pembagian daging kurban di masjid bukan bapak, tetapi Pak Samsul, suaminya Bu Lolita."

"Loh bapak tidak memberi tahu pengurus yang lain?!"

Pak Akim menggeleng, "Hanya bapak dan ketua pengurus yang tahu, sudah ditegur juga tapi entah bagaimana masih bisa mengambil lebih banyak daging kurban."

"Hhhh berkoar-koar saja istrinya menuduh dan menyalahkan keluarga kita, padahal suaminya yang berbuat kecurangan."

"Sudahlah Bu, biarkan saja. Lagipula kita sudah berusaha menegur, mungkin mereka memang lebih membutuhkan."

"Bu Lolita itu terus saja menyombongkan diri dan gaya hidupnya, ternyata makan saja dari hasil mencuri!!",

"Bu, sudahlah…."

Malam Adha hari itu ditutup dengan kemarahan Bu Ani dan petuah-petuah baik dari sang suami, Pak Akim. Sementara kepulan asap nampak dari pekarangan rumah Bu Lolita yang baru bisa membuatkan anak-anak dan suaminya sate dari hasil menodongkan tangan meminta bantuan Bu Ani. 


CERPEN : Hikmah di Hari Idul Adha  Reviewed by Team LPM SATIVA on 7/10/2022 Rating: 5   Eid Al-Adha: Special Short Story By: Helmiatun Isnanda "Allahuakbar.... Allahuakbar... Allahuakbar..." Suara takbir menggema di ...

Tidak ada komentar: