Bumi Bergoyang - LPM Sativa
Sabtu, 08 Desember 2018

Bumi Bergoyang

LPM Sativa, Cerpen - Malam yang sunyi, diiringi lantunan musik yang merdu. Kehangatan malam membuat ku terjaga. Bulan yang memancarkan cahaya yang sangat terang membuat ku termenung. Oh, ternyata ini malam senin. Malam yang tidak hanya dirasakan olehku saja tetapi semua orang yang merasakannya. Disitu diriku merasa sangat lemah ketika melihat rumah-rumah orang habis terguncang dan orang-orang tertimpa reruntuhan.

Gemaan suara orang-orang serentak memuji namamu dan memohan ampun. Diriku tak bisa memikirkan sesuatu  ataupun membantu orang lain yang tertimpa reruntuhan pada saat itu. Aku berlari sekuat tenaga tak perduli serpihan reruntuhan yang ku pijak, tak perduli orang-orang yang pada saat itu meminta bantuan kepadaku. Aku hanya mampu memikirkan keadaan orang tuaku yang pada saat itu berada di rumah. Ketika ia hanya mampu untuk berbaring lemah di kasurnya dan tak mampu untuk berjalan dengan normalnya.

Isak tangisku semakin menjadi ketika diriku melihat rumahku telah hancur tiada rupa. Namun ada sedikit rasa tenang ketika ku melihat dari kejauhan kedua orang tuaku duduk lemah dengan muka pucat sambil memanggil namaku. Ketika diriku memghampiri mereka rasa pucat itu sedikit memudar namun rasa takut akan malam itu semakin menjadi ketika guncangan hebat itu tiada henti-hentinya. Angin pun menyapa kami malam itu dengan kencang.

Rasa was-was akan kedatangan hari akhirpun semakin menjadi-jadi setelah orang-orang mengatakan bahwa air laut pasang dan peringatan akan terjadi tsunami. Namun apalah daya, aku tak mampu untuk membawa kedua orang tuaku untuk mencari dataran yang lebih tinggi. Dengan beberapa orang yang terluka parah pada saat itu kami pun pasrah untuk tetap diam di halaman  yang tidak terlalu luas.

Diriku terpukul ketika melihat orang-orang di sekitarku keadaannya sangat parah. Mereka menangis kesakitan sambil tetap menyebut menyeru asma-Nya, anak-anak menagis tiada henti.

Guncangan tiada henti-hentinya, malam begitu seram, tak ada cahaya apapun yang bersinar kecuali cahaya bulan. Angin semakin mengeluarkan amarahnya. Bunyi hewan malam semakin nyaring terdengar. Seiring berjalannya waktu guncangan itupun berhenti. Namun dengan beralas tanah, beratap langit, berlampu bintang-bintang dan dengan diiringi nyanyian alam sebagian kami berjaga. Rasa takut akan goncangan itu terjadi membuat kami tidak berani untuk tidur dan tetap berjaga.

Rasa haus dan lapar mulai terasa, tak ada seteguk air atapun serobek roti yang bisa kami makan saat itu. Kami tak berani untuk mengambil makanan ataupun selimut di rumah karena takut akan guncanagn itu tiba-tiba terjadi lagi. Malam telah berlalu, relawan datang dengan sekelompok orang membawa logistik dan obat-obatan ke seluruh pelosok desa yang dimana kami hanya bisa termenung melihat orang yang rela menolong dan tabah dalam menghadapi guncangan itu, yang dimana masyarakat bisa makan dan minum.

Satu minggu kemudian masyarakat sedikit demi sedikit bisa ceria dan mulai membangun semangat mereka dan anak-anak pun mulai tersenyum, orang yang hanya mencari rezeki dengan menjual sayur dipasar sudah terlihat ramai dan relawan sudah mendirikan tenda darurat untuk para korban dan anak-anak sekolah. Semakin waktu berjalan keadaan perekonomian maupun peroses pendidikan berangsur-angsur pulih.

Bulan ini yang selalu mendung kami merasakan kesedihan dimana semua orang yang tak memiliki rumah, masih berdiam ditempat yang sama rumah yang sederhana hanya beratap daun kelapa yang bertembok dinding hujan yang mengguyur rumah sederhana kami dan suasana yang begitu dingin, air yang masuk dari celah-celah atap kami syukuri dan yakin bahwa Allah sedang membuat rencana yang baik.
Bumi Bergoyang Reviewed by Redaksi V 091 on 12/08/2018 Rating: 5 LPM Sativa , Cerpen - Malam yang sunyi, diiringi lantunan musik yang merdu. Kehangatan malam membuat ku terjaga. Bulan yang memancarkan caha...

Tidak ada komentar: