Oleh:M. Shadiqah(Anggota Muda LPM SATIVA)
Pic. M. Shadiqah |
Bulan September kita kenal dengan
bulan kelam yang tiada habisnya, bulan ini selalu menjadi momen sakral yang
selalu diingat setiap kepala masyarakat Indonesia. Tidak ada yang mampu
menggoreskan kembali kekecewaan dan kesedihan masyarakat yang terjadi di bulan
September.
Entah apa yang terjadi di negara
kita tercinta ini, kejadian kelam itu selalu terjadi. Mulai dari zaman Orde
lama, Orde Baru sampai masa reformasi selalu saja mencatat sejarah hitam dalam
ingatan. Mulai dari tragedi pembantaian 1965, tragedi tanjung priok 1986,
tragedi di Semanggi II hingga dengan pembunuhan munir tahun 2004; semuanya
terpolarisasi pada bulan September.
Tidak ada yang tahu pasti bahwa
bulan ini sudah menjadi bulan yang penuh akan catatan hitam ataupun tidak. Tetapi
sejarah Indonesia sudah benar-benar terpuak fakta yang begitu miris.
Momentum ini selalu menjadi batu
loncatan dan pengingat bagi kita semua begitu tragis dan penuh dengan tumpah
darah. Kitapun selaku mahasiswa turut mengingatkan kembali isu-isu itu untuk
kita merekonstruksi kembali apa yang pernah terjadi.
Bertepatan dengan hari Tani yang
akan diingatkan langsung setiap tahunnya pada tanggal 24 September. Seharusnya
menjadi sebuah eskalasi gerakan yang pas untuk kita mengenang tinta hitam untuk
tahun 2023 ini. Mau bagaimanapun, posisi petani menjadi sebuah posisi krusial
sekaligus substantif dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, terlebih lagi
Indonesia dikenal sebagai negara Agraris yang hasil kekayaan Bumi nya sangat
melimpah.
Namun dengan hal itu, ternyata belum
cukup untuk petani benar-benar sejahtera dalam mencukupi kebutuhan hidupnya.
Masalah di negeri ini terlalu kompleks untuk dibahas satu persatu.
Kenyataannya, para petani selalu dikorek dan dieksploitasi haknya oleh sekelompok
orang.
Saya melihat posisi petani (akar
rumput) bukanlah dijadikan sebagai mata pencaharian, akan tetapi serta merta
hanya untuk mencukupi kebutuhan sandang/pangan yang dibutuhkan keluarganya.
Kalaulah saya meminjam kata-kata puisinya mata luka sengkon harta-(petani
bojongsari)
Yang menghidupi mimpi dari padi yang ditanam sendiri, ketika dapat untung, hanya dilipat dan ditabung.
Begitulah gambaran negeri kita ini
sedang berlaku, sketsa kehidupan kita mungkin masih samar-samar, tetapi ketika
ada ketidakadilan di negeri ini, maka dengan memilih diam adalah sebuah
penghianatan. Kata terakhir yang saya ucapkan melalui ungkapan ini,
"Bahwasanya keburukan itu lahir
dari diamnya orang-orang yang baik."
Tidak ada komentar: