"Gini amat ambil prodi agribisnis," keluh Rachel lalu menyeruput es tehnya.
"Kenapa emang?" Sahut Yana yang duduk di dekat Rachel. Tangannya sibuk menggulir-gulir postingan orang di media sosial.
"Berasa ambil jurusan ekonomi," ucapnya lesu mengerucutkan bibirnya. "Sekalian aja dulu ambil ekonomi kalau begitu."
Yana yang mendengarnya terkekeh pelan." Dari namanya aja ada kata bisnis, jelaslah kamu belajar ekonomi."
"Ya, tapi kan...aku gak suka belajar ekonomi, Yan." Rachel menghentak-hentakkan kakinya kesal. Ditambah raut wajahnya yang masam, membuatnya menjadi pusat perhatian sejenak. Bagaimana tidak? Mereka berdua saat ini berada di kantin kampus. Namun, Rachel sepertinya tidak peduli.
"Kenapa pula tu prodi masuk fakultas pertanian," gerutunya. "Harusnya, kan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Biar gak ketipu dengan isinya."
Yana hanya mengurut dada sabar melihat tingkah sahabatnya. "Tapi, kamu tetap belajar pertanian, Chel. Sudah jelas, kan, agribisnis tu jurusan sosial ekonomi pertanian. Jadi, ya, gado-gadolah yang kamu pelajari."
"Tetep aja banyak belajar ekonomis," sahut Rachel.
"Tau darimana kalau agribisnis banyak ekonominya? kan, baru masuk semester dua," tanya Yana.
"Buku pedoman yang dikasih waktu itulah, Yan," ucap Rachel seraya memutar mata malas.
Yana pura-pura kaget." Ah, yang bener? Rajin amat kamu, Chel, sampe baca buku pedoman."
Rachel mendengus. "Kesannya, kek, aku orang pemalas saja."
Yana tertawa pelan. "Jadikan pelajaran hidup aja, Chel. Lain kali pikirkan matang-matang dulu sebelum mengambil keputusan."
"Ya, kan, waktu itu asal pilih, Yan. Mana tahu bakal keterima di jurusan ini."
"Siapa suruh dulu asal pilih. Gini, kan, sekarang," tukas Yana.
Rachel jadi ingat, dulu ia hanya asal pilih. Karena memang jurusan yang ia minati hanyalah arsitektur. Ia ambil agribisnis, itupun karena Yana memaksanya memilih dua prodi. Cari aman, katanya. Tapi apalah daya keterima di prodi agribisnis yang tak diinginkan. Rachel hanya bisa menyukuri apa yang diberikan dan menjalani apa yang sudah ditetapkan takdir untuknya. Yang penting bisa kuliah, katanya dulu.
Melihat sahabatnya termenung, Yana merangkul bahu Rachel dan berkata, "Agribisnis tidak seburuk itu, kok. Aku benar, kan?"
Rachel menoleh dan mengangguk pelan0, "Iya, sih. Meski berlawanan dengan cita-cita sejak kecil yang pengen jadi arsitek."
Yana tersenyum, "Manusia hanya bisa merencanakan, tapi Tuhan yang menentukan akhirnya. Boleh jadi sekarang keinginanmu adalah arsitek, tapi kalau Tuhan menakdirkan kamu jadi pengusaha sukses, gimana?"
Rachel mengerjap. "Benar juga katamu, Yan." Ucap Rachel. "Mungkin arsitek bukan takdirku, tapi jadi pengusaha."
"Nah, maka dari itu, kamu harus menekuni jurusanmu saat ini. Ayo, jangan menyerah!" Semangat Yana pada sahabatnya, tak lupa senyum manisnya menghiasi wajah. "Apalagi Indonesia adalah negara agraris. Bukankah itu salah satu faktor pendukung yang patut disyukuri? Kita hanya perlu belajar dan menekuni bidang studi yang kita pilih saat ini, lalu nanti ikut berkontribusi memajukan pertanian Indonesia."
"Benar, juga! Nanti kita bisa kerjasama, nih. Atau kita bisa bangun perusahaan yang bergerak di bidang pertanian. Jurusan kamu juga sangat mendukung," ucap Rachel. Membayangkan dirinya menjadi pengusaha membuatnya bahagia. Emang, ya, bahagia sesimpel itu.
"Setuju! Mulai sekarang belajar mencintai jurusanmu saja dulu dan jalani dengan hati yang sabar serta ikhlas agar kamu tidak terbebani. Tugas-tugas kuliah yang berat hanya pemanis dalam kita berproses. Ingat, pilihan kitalah yang menjadikan seperti apa kita kelak."
Rachel mengangguk menyetujui.
"Lagipula...karena prodi agribisnis kamu dipertemukan sama dia," tambah Yana sembari mengerling jahil.
Rachel awalnya tak paham, tapi kemudian tersipu malu.
Karya : Rna Rachel
Tidak ada komentar: