Anak Yang Malang - LPM Sativa
Selasa, 12 November 2019

Anak Yang Malang

Ilustrasi Foto fimela.com
Pagi ini adalah pagi yang indah, langit nan cerah dihiasi titik-titik awan. Dibawah mentari yang bersinar terang tepatnya di sebuah sawah yang luas petani mulai berkumpul untuk mulai beraktivitas. Tetapi aku heran melihat seorang anak yang sedang duduk dipinggir sawah. Anak itu menunduk, butiran air mulai menetes membasahi kedua pipinya yang terlihat merah menyala.

“Hey, Namamu siapa? “, tanyaku, ia hanya menundukan kepalanya dan tak berani menatapku.
“ Apa yang sedang terjadi?”,sambungku dengan perlahan duduk didekatnya. Hanya isak tangis yang terjawab darinya.

Kupeluk tubuh mungilnya dan menenangkannya kembali. Anak itu menetapakan aku dengan berlinang air mata.

“Dikala aku hidup, aku tidak pernah melihat sosok ibu. Kata ayah, tuhan telah mengambilnya terlebih dahulu. Akun merindukannya, ingin menemani tidurnya. Aku di dunia hanya sendiri, aku meridukan ibu”, Ucapnya dengan bibir mungil yang bergetar.
“Lalu dimana ayah mu?”, tanyaku semakin penasaran.
“Ayah telah pergi menemui ibu dua hari yang lalu”, jawabnya.

Tangisan semakin pecah. Aku tidak dapat menahan air mataku. Ku usap butiran air mata di kedua pipinya yang merah. Seorang bocah yang tak berdaya menjalani hidupnya dengan berjuang sendiri dibalik takdir yang tak adil padanya. Ia hanya seorang anak kecil, lemah dengan tulang pipih yang terlihat jelas diwajahnya. Entah apa yang hendak diperlihatkan oleh  tuhan untuk jiwa malang itu.

Melihat penderitaan yang ia jalani, berhasil menegur hatiku sangat dalam. Selembar kertas kutulis surat untuk sang penguasa dan berharap bisa merubah takdirnya.

“ Wahai angin yang mengelus pipiku,
wahai embun yang menggelayut diujung dedaunan,
wahai mentari yang menerangi bumi,
wahai zat penentu hidup dan mati.
Ku titipkan pesanku untuk sang penguasa yang diujung barat sana,
Sampaikan permohonan maafku padanya.
Berikan kekuatan pada jiwa yang tak berdosa itu”

Ku berikan sebuah ikat rambut untuknya. Di ikatnya rambut yang Panjang hitam kusut. Lalu ia beranjak dari tempat duduknya.

“Aku pulang”, Ucapnya singkat. Tak sempat ku jawab ucapannya, ia berlari untuk menuju ke suatu tempat, entah itu dimana dan kenapa ia pergi kearah itu.

Keesokan harinya…..
Hari itu aku berharap cemas ketika ku kunjungi tempat itu kembali di pinggir sawah sambil melihat aktivitas petani muda.Dia tak datang. Aku menengadahkan wajahku kearah  kayu yang didudukinya kemarin berharap aku menemukanya. Harapku yang ingin melihatnya menghadirkan pertanyaan dari lubuk hatiku yang yang paling dalam. Ya, ikat rambut yang sempat ku berikan padanya ia tinggalkan di tempat ia menagis hari lalu.

“Apakah anak itu kembali kesini terlebih dahulu sebelum aku datang?”, tanyaku dalam hati. Ku ambil benda itu lalu berjalan kesana kemari berharap bisa menemukannya kembali.

“Kemanakah ia pergi dengan tubuh lemah seperti itu?”, aku tak menemukan ujung perjalananya, hanya mengejarnya dengan bayangan yang menyakitkan. Aku mengejar bayangannya yang terlintas dalam benakku. Aku menemukannya dibawah pohon, tubuhnya menggigil ketakutan.

“kenapa kamu bisa berada disini?”, tanyaku penasaran. Tak ada suara yang menjawab pertanyaankku. Dibalasnya dengan pelukan erat yang membuatku semakin bertanya-tanya. Ku rangkul kembali tubuh anak kecil itu dalam pelukanku. Aku berusaha menenangkannya kembali.Ku bawa ia menuju rumahku, meletakkan tubuh lemahnya diatas kasur kapuk di kamarku, ku biarkan ia tertidur pulas.

Takdir seakan datang mempermainkannya. Ia hidup tapi seakan mati. Kejamnya dunia yang ia tempati seakan neraka yang menemani. Dia bertahan hidup tidak mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

“Anak itu sungguh tak ingin mengharap balasan, dia hanya ingin menemani orang tuanya dengan rasa rindu yang mendalam”, kembali ku tulis kalimat itu pada kertasku.

Dari jauh ku mendengar isakkan tangisnya yang pecah dari kamar tidurku. Aku datang menghampirinya yang tengah tengadah sambal menatap kosong ke jendela kamar. Ku tutup tubuhnya dengan sehelai kain dan memberikannya segelas air.

Aku hanya duduk menadahkan tangan, bukan berharap tumpahan kasih sayang dari ruas jalan yang mengelilingiku. Tetapi berharap aku bisa sekuat bocah ini untuk menghadapi dunia yang sangat keras memukulku yang tanpa bersyukur.

“Aku bagaikan burung yang patah sayap,
Bagaikan bulan yang terpecah belah.
Bagaikan mentari tertutup awan,
Yang ku pikirkan saat itu ternyata salah.
Masih ada orang-orang yang diuji selain aku,
Masih banyak oranng yang hidup sebatang kara sepertiku.
Dan masih ada orang yang diuji melebihi ujianku,
Aku juga merindukan ayah dan ibu yang disana,
Ingin ku temui mereka segera”.

Bersambung...

Anak Yang Malang Reviewed by LPM Sativa 08 on 11/12/2019 Rating: 5 Ilustrasi Foto fimela.com Pagi ini adalah pagi yang indah, langit nan cerah dihiasi titik-titik awan. Dibawah mentari yang bersinar tera...

Tidak ada komentar: