Oleh : Fatimatuz
Zahra
Berbicara
tentang dunia perkuliahan sangat erat kaitannya dengan biaya yang banyak, sehingga seringkali pilihan untuk melanjutkan
pendidikan hingga perguruan tinggi menjadi momok yang ditakutkan di Kalangan Bawah. Bagi mereka
melanjutkan
pendidikan tidaklah mungkin bahkan,
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sangat menyusahkan. Hal inilah yang
membuat mereka (Kalangan Bawah) enggan untuk melanjutkan pendidikannya. Mereka lebih memilih bekerja, supaya
dapat mengurangi beban hidupnya. Menurut mereka, kuliah itu hanya
akan menambah biaya hidup dan sebagian besar dari
mereka memiliki pemikiran yang sama, bukan karena
mereka enggan untuk melanjutkan ke jenjang Perguruan tinggi namun, ini semua terjadi karena himpitan keadaan hidup yang
memaksa mereka untuk berhenti melanjutkan pendidikannya.
yah lagi-lagi persoalan biaya. Yah beginilah wajah pendidikan
yang ada di Indonesia, kalau sudah begini
siapa yang akan disalahkan? Dia, Anda, atau Mereka?. Jelas itu bukan jawabannya karena, tidak ada yang mau terlahir menjadi seseorang yang serba kekurangan kalau boleh memilih mereka ingin
hidup dengan kebutuhan yang selalu
terpenuhi. Lantas apa yang akan dilakukan pihak pemerintah untuk menyelamatkan
bangsa ini?, Mengapa bangsa?,
Apa kaitannya bangsa dengan permasalahan ini?,
sangat jelas sekali bahwa permasalahan
anak-anak yang enggan melanjutkan pendidikan akan berdampak besar bagi bangsa.
Seperti
yang dikatakan dalam salah satu pidato presiden Republik Indonesia yang pertama
“Berikan aku sepuluh pemuda niscaya akan
ku guncangkan dunia ini”. Dari potongan kalimat itu kita dapat menyimpulkan
bahwa pemuda di Indonesia ini memiliki power
yang besar untuk bisa membawa bangsa dan negaranya menjadi lebih baik. Pemuda
adalah harapan bangsa, pemuda adalah pelita bangsa. Pemuda seperti apa yang
dimaksudkan dalam kalimat itu?, Pemuda yang
seperti ini, pemuda yang tidak memiliki semangat dalam melanjutkan pendidikan
hanya karena terhalang biaya. Jawabannya tentu tidak, jika
pemuda yang dimaksudkan seperti itu niscaya seribu pemuda pun tidak akan mampu
mengguncang dunia. Kembali ke pertanyan awal, apa yang dilakukan pihak
pemerintah terkait dengan permasalahan ini. Kabar baiknya saat ini pemerintah
telah menyalurkan bantuan salah satunya adalah
melalui pemberian beasiswa untuk mahasiswa yang berprestasi dan kurang
mampu seperti “Bidik Misi” yang diberikan Pemerintah melalui Direktotar Jenderal Pendidikan Tinggi) Ditjen Dikti yang
diharapkan beasiswa yang ada ini dapat dipergunakan untuk memenuhi segala
kebutuhan mahasiswa termasuk persoalan pembayaran SPP yang harus dibayar per
semester.
Terkait
dengan pemberlakuan pembayaran SPP, di kampus kuning yakni Fakultas Pertanian memiliki
cukup banyak polemik baik itu di kalangan mahasiswa
maupun orang tua. Pembayaran SPP di kampus kami menggunakan sistem grade ataupun golongan yang didasarkan
atas pekerjaan yang dimiliki oleh orang tua. Tindakan ini ditujukkan untuk
membantu mereka yang kurang dengan cara menyesuaikan pembayaran
SPP dengan pendapatan orang tua. Untuk sekilas pembayaran SPP dengan sistem grade ini terlihat adil karena
disesuaikan dengan jumlah pendapatan. Namun kenyataannya tidak demikian karena
hal ini dirasa cukup membebani para orang tua terutama yang memiliki pekerjaan
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) karena mau tidak mau mereka harus
mengeluarkan biaya SPP cukup tinggi yang
bisa mencapai grade 5 dengan total pembayaran mencapai 5 juta lebih jika kedua
orang tuanya bekerja sebagai PNS. 5 juta bukan angka yang sedikit, terlepas
dari kedua orang tua yang bekerja sebgai pegawai negeri karena hal itu tidak
dapat menjamin bahwa kehidupan dari keluarga A misalnya akan tercukupi. Belum
lagi jika disangkutpautkan dengan beban hutang yang dimiliki, jumlah anggota
keluarga yang harus ditanggung, asuransi, jaminan
dan sebagainya. Sehingga tidak jarang orang tua dari mahasiswa ini
harus berpikir keras bagaimana agar dia dapat membayar SPP dengan tepat waktu
bahkan jika itu dengan cara melakukan peminjaman. Karena jika pembayaran tidak
dilakukan dengan tepat waktu maka mahasiswa tersebut dianggap mengambil Cuti. Miris
memang, seorang mahasiswa tidak dapat melanjutkan kuliahnya sementara waktu
hanya karena tidak dapat membayar SPP dengan grade yang cukup tinggi. Hal seperti ini dialami oleh salah satu
mahasiswa yang kedua orang tuanya bekerja sebagai PNS. Ini adalah salah satu
bukti bahwa pekerjaan orang tua yang cukup tinggi tidak dapat menjamin.
Sedangkan
untuk mahasiswa yang orang tuanya bekerja hanya sebagai pedagang, wiraswasta
ataupun lain sebagainya di luar menjadi PNS akan
mendapatkan grade 1-2 yang pembayarannya hanya berkisar 500 Ribu Rupiah sampai dengan 2 juta Rupiah yang pada nantinya akan disesuaikan juga dengan
pendapatan yang didapatkan oleh orang tua. Perbedaan jumlah pembayaran SPP yang
cukup tinggi membuat sebagian dari mahasiswa melakukan pemalsuan terhadap
pendapatan yang diterima oleh orang tua mereka dengan tujuan agar mereka dapat
menurunkan grade ataupun golongannya.
Hal seperti ini akan sangat mudah dilakukan oleh orang tua yang memiliki
wewenang cukup besar dalam kantornya sehingga dengan mudah memalsukan data
pendapatan yang sebenarnya sehingga pemalsuan tersebut berhasil tanpa diketahui
oleh pihak kampus. Sehingga jangan heran jika ada seorang mahasiswa yang orang
tuanya seorang PNS membayar SPP tidak
lebih dari 2 Juta Rupiah. Jika sudah
begitu, bagaimana dengan nasib mahasiswa yang telah membayar SPP
dengan pendapatan yang memang seperti itu adanya?
Tentunya mereka akan merasa dirugikan. apakah pembayaran SPP
dengan sistem ini masih dapat dikatakan adil seperti semestinya?. Jelas tidak, pembayaran spp dengan sistem grade ini belum dapat dikatakan adil
karena buktinya masih ada kecurangan dalam sistem pembayarannya. Ada satu hal
yang tidak kami ketahui sebagai mahasiswa selaku orang yang aktif membayar SPP di
setiap semesternya yaitu apakah tidak ada pemeriksaan lebih lanjut yang
dilakukan pihak kampus terhadap data pendapatan yang diperoleh dari
masing-masing mahasiswa karena kemungkinan akan terjadinya kecurangan dalam hal itu cukup besar.
Para
mahasiswa bisa saja menyuarakkan ketidakadilan ini kepada pihak kampus terkait
dengan pembayaran SPP, namun apa daya keberanian dan kekompakkan untuk
menyampaikan aspirasinya dari setiap mahasiswa belum ditunjukkan dan lain dari
itu tidak ada lembaga ataupun organisasi yang tepat untuk mendukung apa yang
menjadi keinginan mereka . Kebanyakan dari mereka cenderung lebih memilih untuk
diam dan patuh dengan pembayaran SPP dengan sistem grade. Ada dua alternatif yang diinginkan oleh mahasiswa yang
pertama adalah adanya kebijakan baru terhadap pembayaran SPP dengan cara
meratakan pembayarannya tanpa memandang
apa pekerjaan orang tua dari mahasiswa itu sendiri dan yang terakhir adalah
dengan diadakannya pembenahan ataupun pengkajian ulang terhadap data pendapatan
dari tiap mahasiswa untuk menguji kebenaran dari data itu sendiri.
Tidak ada komentar: