Mengatasi Pemborosan Birokrasi - LPM Sativa
Senin, 22 Desember 2014

Mengatasi Pemborosan Birokrasi


                                      Mengatasi Pemborosan Birokrasi
Oleh: Wahyudi Kumorotomo
Guru Besar Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM
                “Untuk mengatasi pemborosan birokrasi, segala bentuk penyimpangan seperti rapat atau perjalanan dinas fiktif, pemalsuan kuitansi proyek, pembayaran ganda, dan berbagai korupsi birokratif mesti terus diberantas.Namun, kebijakan mendasar yang lebih diperlukan adalah perubahan Mental dan perilaku supaya aparat bekerja sebagai pelayan masyarakat dengan indikator kinerja serta sistem sanksi yang jelas”
 
Tekad ruang pemerintah memperluas ruang fiskal dengan menghemat anggaran publik telah ditindak lanjuti dengan beberapa langkah penting. Presiden sudah menghapus sebagian lembaga nonstruktural yang dipandang tidak perlu. Dalam beberapa pekan ini, banyak warga yang membicarakan surat edaran menteri PAN-RB Yuddy Chrisnandi mengenai larangan rapat dinas di hotel. Kontroversi mengenai larangan tersebut menjadi topik hangat media sosial setelah diunggahnya foto men PAN yang tampak menghadiri kegiatan dinas disebuah hotel mewah.
Tersiar pula kabar bahwa Menteri Pariwisata Arief Yahya menyampaikan keberatan PHRI atas larangan tersebut karena akan sangat mengurangi pendapatan layanan dari hotel dan kegiatan wisata pada umumnya. Sebagian berpendapat, untuk mengadakan sosialisasi dan rapat umum yang memerlukan ruangan besar, kebutuhan akan ruangan di hotel-hotel mustahil dihindarkan.
Kontroversi mengenai larangan rapat dinas di hotel oleh para pejabat dan PNS mungkin masih akan berlangsung. Tetapi, argumentasi mengenai rapat dinas di hotel tersebut sebenarnya hanya merupakan sebagian persoalan yang lebih mendasar, yaitu borosnya birokrasi puji di Indonesia.
Belanja pegawai menelan alokasi dana terbesar kedua APBN setelah subsidi energi. Pada 2014, sebanyak Rp 263,9 triliun tersedot untuk belanja pegawai, sedangkan belanja modal hanya Rp 205,8 triliun. Lalu, di APBN 2015, belanja pegawai sudah melonjak menjadi Rp 292,8 triliun, sedankan belanja modal justru turun menjadi Rp 156 triliun.
Besarnya anggaran untuk rapat bahkan pernah disentil oleh Jokowi ketika angka APBN 2015 baru saja disahkan. Total biaya perjalanan pemerintah pusat mencapai Rp 35,17 triliun  dan sekitar Rp 18 triliun di antaranya dianggarkan untuk rapat (Tempo, 22 September 2014). Bandingan dengan anggaran proyek MRT jakarta yang hanya Rp 16 triliun atau jalur ganda Jakarta-Surabaya yang hanya Rp 10,78 triliun.
Budget Maximizer
            Teori tentang budget maximizing behavior sebenarnya bukan hal baru dalam bidang administrasi pulik seperti yang diuraikan Tullock (1965), Niskanen (1971), atau Blais dan Dion (1991) . Intinya, pegawai pemerintah sebenarnya adalah faktor asional yang cendrung berusaha meningkatkan besaran anggaran untuk suatu jabatan atau satuan yang dikelola sendiri. Karena itu, pegawai akan terus ingin memaksimalkan anggaran guna  membiayai kegiatan bagi diri sendiri sampai pada titik mereka tidak lagi peduli apakah anggaran tersebut bermanfaat secara langsung bagi masyarakat atau tidak.
Karena itu, larangan bagi PNS untuk mengadakan rapat dinas di hotel tidak akan terlalu efektif jika kontrol terhadap kecendrungan budget maximaizer tidak dilakukan. Kebanyakan perencana kegiatan sudah biasa menyiasati larangan tersebut. Misalnya beberapa kegiatan rapat dilakukan di aula, gedung-gedung serbaguna atau fasilitas lain, sendangkan peserta rapat tetap menginap di hotel. Begitu banyak celah kebijakan yang memudahkan disiasati jika larangan rapat di hotel dapat dilakukan, tanpa memahami inefisiensi birokrasi yang paling pokok.
Masalahnya untuk kegiatan sosialisasi atau seminar yang bersekala besar, ruangan-rungan di kantor pemerintah sering kurang memadai. Jika memang kebutuhan akan rapat umum, sosialisasi, atau seminar di hotel itu serta bisa dibuktikan bahwa rapat tersebut menghasilkan keputusan startegis yang lebih efektif, larangan yang secara mutlak sebenarnya tidak diperlukan.
            Visi Pelayanan Publik
            Di Indonesia, anggaran yang dihabiskan sudah sangat timpang dengan kinerja yang dihasilkan oleh mesin birokrasi publik. Belanja kementerian sudah menghabiskan 31,7 persen dai APBN, sedangkan kontribusi sektor publik terhadap peningkatan angka PDB hanya 8,9 persen. Indeks efisiensi pemerintahan di Indonesia mendapat skor 8,37 (dalam rentan skor 1 terbaik dan 10 terburk) menurut Political Ekonomic Risk Consultancy (2012). Indeks persepsi korupsi tidak mengalami perbaikan signifikan karena pada 2014 ini masih berada di angka 34 (dalam rentan skor 1 terbaik dan 100 terburuk) menurut International Transparancy.
            Namun, yang lebih diperukan untuk mengatasi pemborosan adalah perubahan visi dan pola pikir (mindset) yang menyeluruh tentang pentingnya pekerja dalam pelayanan publik. Revolusi mental seperti yang dijadikan inti program Nawacita Presiden Jokowi hendaknya dimulai dari birokrasi pemerintah sendiri.
            Pengalaman dari beberapa negara yang biasa lolos dari perangkap pendapatan menengah (middle-income trap) menunjukkan bahwa sektor publik adalah penggerak utama bagi peningkatan daya saing. Tiongkok, Singapura, dan Korea Selatan merupakan contoh negara yang daya saingnya meningkat tajam lantaran pembenahan visi pelayanan di sektor publik. Anggaran yang dihabiskan sektor publik di negara-negara tersebut terkendali, tetapi kinerjanya jauh lebih baik ketimbang kebanyakan di negara lain di Asia.
            Teori administrasi publik yang baru tidak lagi melihat bahwa kecendrungan budget maximizer adalah kendala permanen bagi efisiensi birokrasi. Morten Egbrg (2006), misalnya, menyatakan, meskipun setiap pejabat memiliki kepentingan pribadi terkait dengan anggaran yang dikelola di bawah otoritasnya, hal itu tidak jadi masalah, sepanjang kualitas kebijakan yang dihasilkan benar-benar efektif bagi kepentingan publik karena itu, yang lebih krusial adalah penciptaan visi dan komitmen yang kuat bagi pelayanan publik dengan memberlakukan indikator bekerja yang ketat bagi setiap pegawai dalam birokrasi pemerintah.
            Untuk mengantisipasi pemborosan birokrasi, segala bentuk penyimpangan seperti rapat atau perjalan dinas fiktif, pemalsuan kuitansi proyek, pembayaran ganda, dan berbagai korupsi birokratif meski terus diberantas. Namun, kebijakan mendasar yang lebih diperlukan adalah perubahan mental dan perilaku supaya aparat bekerja sebagai pelayan masyarakat dengan indikator kinerja serta sistem sanksi yang jelas.
            Harapan bahwa pemerintahan di bawah Jokowi akan bisa melakukan reformasi birokrasi yang efektif masih sangat tinggi. Inilah saatnya bagi jajaran di birokrasi publik  untuk menerjemahkan sisi pelayanan tersebut ke dalam kebijakan strategis yang memicu perubahan lebih besar.  
Sumber: Harian LOmbok Post (22/12/2014)
Mengatasi Pemborosan Birokrasi Reviewed by Redaksi V 091 on 12/22/2014 Rating: 5                                       Mengatasi Pemborosan Birokrasi Oleh: Wahyudi Kumorotomo Guru Besar Jurusan Manajemen dan Kebij...

Tidak ada komentar: