Mengatasi Pemborosan Birokrasi
Oleh: Wahyudi
Kumorotomo
Guru Besar Jurusan Manajemen dan Kebijakan
Publik Fisipol UGM
“Untuk mengatasi pemborosan birokrasi,
segala bentuk penyimpangan seperti rapat atau perjalanan dinas fiktif, pemalsuan
kuitansi proyek, pembayaran ganda, dan berbagai korupsi birokratif mesti terus
diberantas.Namun, kebijakan mendasar yang lebih diperlukan adalah perubahan
Mental dan perilaku supaya aparat bekerja sebagai pelayan masyarakat dengan
indikator kinerja serta sistem sanksi yang jelas”
Tekad ruang
pemerintah memperluas ruang fiskal dengan menghemat anggaran publik telah
ditindak lanjuti dengan beberapa langkah penting. Presiden sudah menghapus
sebagian lembaga nonstruktural yang dipandang tidak perlu. Dalam beberapa pekan
ini, banyak warga yang membicarakan surat edaran menteri PAN-RB Yuddy Chrisnandi
mengenai larangan rapat dinas di hotel. Kontroversi mengenai larangan tersebut
menjadi topik hangat media sosial setelah diunggahnya foto men PAN yang tampak
menghadiri kegiatan dinas disebuah hotel mewah.
Tersiar pula
kabar bahwa Menteri Pariwisata Arief Yahya menyampaikan keberatan PHRI atas
larangan tersebut karena akan sangat mengurangi pendapatan layanan dari hotel
dan kegiatan wisata pada umumnya. Sebagian berpendapat, untuk mengadakan
sosialisasi dan rapat umum yang memerlukan ruangan besar, kebutuhan akan ruangan
di hotel-hotel mustahil dihindarkan.
Kontroversi
mengenai larangan rapat dinas di hotel oleh para pejabat dan PNS mungkin masih
akan berlangsung. Tetapi, argumentasi mengenai rapat dinas di hotel tersebut
sebenarnya hanya merupakan sebagian persoalan yang lebih mendasar, yaitu
borosnya birokrasi puji di Indonesia.
Belanja pegawai
menelan alokasi dana terbesar kedua APBN setelah subsidi energi. Pada 2014,
sebanyak Rp 263,9 triliun tersedot untuk belanja pegawai, sedangkan belanja
modal hanya Rp 205,8 triliun. Lalu, di APBN 2015, belanja pegawai sudah melonjak
menjadi Rp 292,8 triliun, sedankan belanja modal justru turun menjadi Rp 156
triliun.
Besarnya anggaran
untuk rapat bahkan pernah disentil oleh Jokowi ketika angka APBN 2015 baru saja
disahkan. Total biaya perjalanan pemerintah pusat mencapai Rp 35,17 triliun dan
sekitar Rp 18 triliun di antaranya dianggarkan untuk rapat (Tempo, 22 September
2014). Bandingan dengan anggaran proyek MRT jakarta yang hanya Rp 16 triliun
atau jalur ganda Jakarta-Surabaya yang hanya Rp 10,78
triliun.
Budget
Maximizer
Teori
tentang budget maximizing behavior sebenarnya bukan hal baru dalam bidang
administrasi pulik seperti yang diuraikan Tullock (1965), Niskanen (1971), atau
Blais dan Dion (1991) . Intinya, pegawai pemerintah sebenarnya adalah faktor
asional yang cendrung berusaha meningkatkan besaran anggaran untuk suatu jabatan
atau satuan yang dikelola sendiri. Karena itu, pegawai akan terus ingin
memaksimalkan anggaran guna membiayai kegiatan bagi diri sendiri sampai pada
titik mereka tidak lagi peduli apakah anggaran tersebut bermanfaat secara
langsung bagi masyarakat atau tidak.
Karena itu,
larangan bagi PNS untuk mengadakan rapat dinas di hotel tidak akan terlalu
efektif jika kontrol terhadap kecendrungan budget maximaizer tidak dilakukan.
Kebanyakan perencana kegiatan sudah biasa menyiasati larangan tersebut. Misalnya
beberapa kegiatan rapat dilakukan di aula, gedung-gedung serbaguna atau
fasilitas lain, sendangkan peserta rapat tetap menginap di hotel. Begitu banyak
celah kebijakan yang memudahkan disiasati jika larangan rapat di hotel dapat
dilakukan, tanpa memahami inefisiensi birokrasi yang paling
pokok.
Masalahnya untuk
kegiatan sosialisasi atau seminar yang bersekala besar, ruangan-rungan di kantor
pemerintah sering kurang memadai. Jika memang kebutuhan akan rapat umum,
sosialisasi, atau seminar di hotel itu serta bisa dibuktikan bahwa rapat
tersebut menghasilkan keputusan startegis yang lebih efektif, larangan yang
secara mutlak sebenarnya tidak diperlukan.
Visi Pelayanan
Publik
Di Indonesia, anggaran yang dihabiskan sudah sangat
timpang dengan kinerja yang dihasilkan oleh mesin birokrasi publik. Belanja
kementerian sudah menghabiskan 31,7 persen dai APBN, sedangkan kontribusi sektor
publik terhadap peningkatan angka PDB hanya 8,9 persen. Indeks efisiensi
pemerintahan di Indonesia mendapat skor 8,37 (dalam rentan skor 1 terbaik dan 10
terburk) menurut Political Ekonomic Risk Consultancy (2012). Indeks persepsi
korupsi tidak mengalami perbaikan signifikan karena pada 2014 ini masih berada
di angka 34 (dalam rentan skor 1 terbaik dan 100 terburuk) menurut International
Transparancy.
Namun, yang lebih diperukan untuk mengatasi pemborosan adalah perubahan visi dan
pola pikir (mindset) yang menyeluruh tentang pentingnya pekerja dalam pelayanan
publik. Revolusi mental seperti yang dijadikan inti program Nawacita Presiden
Jokowi hendaknya dimulai dari birokrasi pemerintah sendiri.
Pengalaman dari beberapa negara yang biasa lolos dari perangkap pendapatan
menengah (middle-income trap) menunjukkan bahwa sektor publik adalah penggerak
utama bagi peningkatan daya saing. Tiongkok, Singapura, dan Korea Selatan
merupakan contoh negara yang daya saingnya meningkat tajam lantaran pembenahan
visi pelayanan di sektor publik. Anggaran yang dihabiskan sektor publik di
negara-negara tersebut terkendali, tetapi kinerjanya jauh lebih baik ketimbang
kebanyakan di negara lain di Asia.
Teori
administrasi publik yang baru tidak lagi melihat bahwa kecendrungan budget
maximizer adalah kendala permanen bagi efisiensi birokrasi. Morten Egbrg (2006),
misalnya, menyatakan, meskipun setiap pejabat memiliki kepentingan pribadi
terkait dengan anggaran yang dikelola di bawah otoritasnya, hal itu tidak jadi
masalah, sepanjang kualitas kebijakan yang dihasilkan benar-benar efektif bagi
kepentingan publik karena itu, yang lebih krusial adalah penciptaan visi dan
komitmen yang kuat bagi pelayanan publik dengan memberlakukan indikator bekerja
yang ketat bagi setiap pegawai dalam birokrasi pemerintah.
Untuk
mengantisipasi pemborosan birokrasi, segala bentuk penyimpangan seperti rapat
atau perjalan dinas fiktif, pemalsuan kuitansi proyek, pembayaran ganda, dan
berbagai korupsi birokratif meski terus diberantas. Namun, kebijakan mendasar
yang lebih diperlukan adalah perubahan mental dan perilaku supaya aparat bekerja
sebagai pelayan masyarakat dengan indikator kinerja serta sistem sanksi yang
jelas.
Harapan bahwa pemerintahan di bawah Jokowi akan bisa melakukan reformasi
birokrasi yang efektif masih sangat tinggi. Inilah saatnya bagi jajaran di
birokrasi publik untuk menerjemahkan sisi pelayanan tersebut ke dalam kebijakan
strategis yang memicu perubahan lebih besar.
Sumber: Harian LOmbok Post (22/12/2014)
Tidak ada komentar: